Praktik
suap-menyuap atau yang sering diistilahkan dengan “uang pelicin” atau ”uang
sogok” meskipun telah diketahui dengan jelas keharamannya, namun tetap saja
gencar dilakukan oleh sebagian orang, demi mencapai tujuan-tujuan tertentu yang
bersifat duniawi. Ada diantara mereka yang melakukan suap-menyuap untuk meraih
pekerjaan, jabatan, pemenangan hukum, tender atau proyek hingga untuk memasukan
anak ke lembaga pendidikan pun tak luput dari praktik suap-menyuap. Sungguh
pemandangan yang sangat menyedihkan. Dan yang lebih menyedihkan lagi, mereka
yang melakukannya adalah orang-orang yang mengaku beragama Islam, padahal
jelas-jelas imam dan panutan kaum muslimin, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah
mengutuk dengan keras para pelaku suap-menyuap itu.
1.
PENGERTIAN RISYWAH (SUAP):
Yang
dimaksud risywah (suap/sogok)
adalah pemberian sesuatu dengan tujuan membatalkan suatu yang haq atau untuk
membenarkan suatu yang batil. (LihatAl-Mausû’ah
Al-Fiqhiyyah II/7819).
Al-Fayyumi rahimahullah mengatakan bahwa risywah (suap/sogok) secara
terminologis berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau
selainnya untuk memenangkan perkaranya memenuhi apa yang ia inginkan. (Lihat Al-Misbah Al-Munir I/228).
Sedangkan
Ibnu Al-Atsir rahimahullah mengatakan
bahwa risywah(suap/sogok)
ialah sesuatu yang bisa mengantarkan seseorang pada keinginannya dengan cara
yang dibuat-buat (tidak semestinya). (Lihat An-Nihayah
Fi Gharibil Hadits II/546).
Dari beberapa pengertian di atas, bisa kita simpulkan bahwa suap
adalah harta yang diperoleh karena terselesaikannya suatu kepentingan manusia
(baik untuk memperoleh keuntungan maupun menghindari kerugian atau bahaya) yang
semestinya harus diselesaikan tanpa imbalan.Atau bisa juga kita katakan, risywah (suap-menyuap) ialah
pemberian apa saja berupa uang atau yang lain kepada penguasa, hakim atau
pengurus suatu urusan agar memutuskan perkara atau menangguhkannya dengan cara
yang bathil.
2.
HUKUM SUAP DALAM TINJAUAN
SYARIAH
Praktik suap menyuap di
dalam agama Islam hukumnya haram berdasarkan dalil-dalil syar’i berupa
Al-Qur’an, Al-Hadits, dan ijma’ para ulama. Pelakunya dilaknat oleh Allah dan
Rasul-Nya. Terdapat banyak dalil syar’i yang menjelaskan keharaman suap
menyuap, di antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Dalil dari Al-Qur’an Al-Karim, firman Allah Ta’ala:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِن جَآءُوكَ
فَاحْكُم بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong,
banyak memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk
meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau
berpalinglah dari mereka……”. (QS.
Al-Maidah: 42).
Di
dalam menafsirkan ayat ini, Umar bin Khaththab, Abdullah bin Mas’udradliyallahu’anhuma dan
selainnya mengatakan bahwa yang dimaksud denganas-suhtu (sesuatu
yang haram) adalah
risywah (suap-menyuap). (Lihat Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an karya imam Al-Qurthubi VI/119).
risywah (suap-menyuap). (Lihat Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an karya imam Al-Qurthubi VI/119).
Berkenaan
dengan ayat di atas, Hasan dan Said bin Jubair rahimahullahmenyebutkan
di dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah pemakan uang suap, dan beliau
berkata: “Jika seorang Qodhi (hakim) menerima suap, tentu akan membawanya kepada
kekufuran”. (Lihat Al-Mughni,
karya Ibnu Qudamah XI/437).
Penafsiran
ini semakna dengan firman Allah Ta’ala di
dalam surat Al-Baqarah ayat 188 yang menjelaskan haramnya memakan harta orang
lain dengan cara yang bathil.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا
بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ
وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (188)
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain
di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).
Imam
Al-Qurthubi mengatakan, “Makna ayat ini adalah janganlah sebagian kalian
memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang tidak benar.” Dia
menambahkan bahwa barangsiapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara
yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang
batil. Diantara bentuk memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang
hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah.
Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim.” (Lihat Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an II/711).
Dalam
menafsirkan ayat di atas, Al-Haitsami rahimahullah mengatakan,
“Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan cara
mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan memberikan hak
orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mngetahui hal itu tidak halal bagi
kalian”. (Lihat Az-Zawajir
‘An Iqtirof Al-Kaba-ir, karya Haitsami I/131).
2.
Dalil dari Hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, diantaranya:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- الرَّاشِى وَالْمُرْتَشِى فِى الْحُكْمِ.
Dari Abu Hurairah radliyallahu ’anhu, ia
berkata: “Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang disuap dalam masalah
hukum.” (HR. Ahmad II/387 no.9019,
At-Tirmidzi III/622 no.1387, Ibnu Hibban XI/467 no.5076. Dan dinyatakan Shohih
oleh syaikh Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib II/261
no.2212).
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.
Dan diriwayatkan dari
Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu
anhu, ia berkata: “Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima
suap”. (HR. Abu Daud II/324 no.3580, At-Tirmidzi III/623 no.1337,
Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad II/164 no.6532, II/190
no.6778. Dan dinyatakan
Shohih oleh syaikh Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa
At-Tarhib II/261 no.2211).
عن ثوبان قال : لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي
يَمْشِي بَيْنَهُمَا
Dan diriwayatkan dari
Tsauban radhiyallahu
anhu, ia berkata: “Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan
perantaranya.” (HR. Ahmad V/279 no.22452. namun sanad hadits ini dinyatakan
Dho’if (lemah) oleh syaikh Al-Albani di dalam Dho’if At-Targhib wa
At-Tarhib II/41 no.1344).
Hadits-hadits
ini menunjukkan bahwa suap-menyuap termasuk dosa besar, karena pelakunya
diancam Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam dengan Laknat dari Allah. Dan arti laknat ialah terusir dan
terjauhkan dari rahmat Allah. Al-Haitami rahimahullah memasukkan
suap ke dalam dosa besar yang ke-32.
3.
Dalil Ijma’
Para
ulama telah sepakat secara ijma’ akan
haramnya suap menyuap secara umum, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah,
Ibnul Atsir, dan Ash-Shan’ani, semoga Allah merahmati mereka semua. (Lihat Al-MughniXI/437, An-Nihayah II/226,
dan Subulussalam I/216).
Imam Al-Qurthubi rahimahullah di dalam kitab Tafsirnya
mengatakan bahwa para ulama telah sepakat akan keharamannya. (Lihat Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an VI/119).
Imam
Ash-Shan’ani mengatakan, “Dan suap-menyuap itu haram berdasarkanIjma’, baik bagi seorang qodhi (hakim),
bagi para pekerja yang menangani shadaqah atau selainnya. Sebagaimana firman
Allah Ta’ala, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain
di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”(QS. Al-Baqarah: 188). (Lihat Subulus Salam II/24).
Syaikh
Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam mengatakan, “Suap menyuap termasuk dosa
besar karena Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap, sedangkan
laknat tidaklah terjadi kecuali pada dosa-dosa besar. ” (Lihat Taudhihul Ahkam VII/119).
3.
KAPAN MEMBERIKAN SUAP MENJADI
HALAL?
Pada
dasarnya memberikan suap kepada siapapun hukumnya haram berdasarkan ayat-ayat
Al-Quran dan hadits-hadits Nabi shallallahu
alaihi wasallam yang telah kami sebutkan di atas. Hal ini karena terkandung di
dalamnya banyak unsur kezholiman, seperti menzholimi hak orang lain, mengambil
sesuatu yang bukan haknya, menghalalkan yang haram atau sebaliknya,
mempengaruhi keputusan hakim yang merugikan pihak lain dan lain sebagainya.
Akan tetapi hukum suap akan berbeda dan berubah menjadi halal
apabila tidak mengandung unsur kezholiman terhadap hak orang lain sedikit pun.
Seperti memberikan suap untuk mengambil sesuatu dari haknya yang terhalang atau
dipersulit oleh pihak tertentu, atau melakukan suap karena untuk mencegah
bahaya yang lebih besar atau mewujudkan manfaat (yang sesuai dengan syariat)
yang besar. Dalam keadaan seperti ini maka si pemberi suap tidak berdosa dan
tidak terlaknat. Dosa suap menyuap dan laknat Allah tersebut hanya ditimpakan
kepada penerima suap.
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tentang
memberikan uang suap, jika seorang itu menyuap hakim agar hakim memenangkan
perkaranya padahal dia bersalah atau agar hakim tidak memberikan keputusan yang
sejalan dengan realita, maka memberi suap hukumnya haram. Sedangkan suap dengan
tujuan agar mendapatkan hak, hukumnya tidaklah haram (halal) sebagaimana uang
tebusan untuk menebus tawanan.” (Lihat Raudhatu
Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftin IV/131).
Maka
dari itu, sebagai contoh, apabila ada seseorang sudah ikut proses penerimaan
PNS dengan benar kemudian ia diterima, atau ada seseorang telah mengajukan
permohonan KTP, SIM, PASPOR kepada pihak yang berwenang dengan syarat-syarat
administrasi yang lengkap. Namun pada saat pengambilan hak nomor NIP tidak bisa
keluar, atau SIM, KTP, dan PASPOR tidak dapat diperoleh karena pihak berwenang
meminta sejumlah uang. Dalam keadaan seperti ini, hendaknya ia melaporkan kasus
tersebut kepada pihak-pihak terkait yang berwenang mengawasi, menegur dan
menjatuhkan sanksi kepada mereka serta memberikan hak kepada para pemilik hak.
Akan tetapi jika seseorang hidup di suatu Negara yang tidak bisa memberikan
jaminan hak kepada yang berhak menerimanya, maka pada kondisi seperti ini
dibolehkan bagi calon PNS, dan orang yang mengajukan permohonan SIM, KTP dan
PASPOR tersebut untuk membayar sejumlah uang kepada pihak berwenang agar Ia
bisa mempunyai NIP dan memperoleh KTP, SIM dan PASPOR. Ia tidak menzhalimi
siapapun, suap tersebut ia lakukan karena terpaksa dan
hanya untuk mengambil hak dia saja. Ia tidak berdosa. Dosa hanya ditimpakan
kepada pihak berwenang. Wallahu a’lam
bish-showab.
4.
HUKUM GAJI DARI PEKERJAAN
YANG DIPEROLEH KARENA SUAP
Kita semua telah sepakat
bahwa mendapatkan pekerjaan dengan jalan suap padahal ia tidak berhak
mendapatkannya adalah haram hukumnya. Karena terkandung di dalamnya perbuatan
menzholimi hak orang lain yang semestinya diterima dan mendapatkan pekerjaan
itu namun ia terhalang dan tertolak lantaran ada orang lain yang menyuap
panitia atau pihak penerimaan para karyawan atau pegawai.
Namun yang menjadi
permasalahan di sini, apakah gaji dari pekerjaan yang diperoleh dengan suap itu
juga selamanya haram bagi si pemberi suap atau bisa berubah menjadi halal? Atau
dengan kata lain, apakah suap itu merupakan sesuatu yang terpisah dan dosanya
tidak berpengaruh terhadap status gajinya?
Maka kita katakan, bahwa jika orang yang
memberi suap itu adalah orang yang berhak dan tepat terhadap pekerjaan yang
dibebankan kepadanya itu, maka gaji yang didapatnya adalah HALAL karena gaji itu merupakan
imbalan bagi pekerjaannya. Dan disyaratkan untuk kehalalan gajinya itu adalah
ia bekerja dengan baik dan melakukan tuntutan pekerjaannya. Apabila ia tidak
melaksanakan tuntutan kerja dan tidak bekerja dengan baik, maka hukum gajinya
adalah haram. Karena ia telah menyia-nyiakan amanah pekerjaan yang dibebankan
kepada dirinya.
Namun sebaliknya, jika si
pekerja yang mendapatkan pekerjaan dengan jalan suap itu tidak berhak diterima
karena tidak professional terhadap pekerjaannya dan selama mengemban amanah
kerja, ia tidak pernah menunaikannya dengan baik dan benar, maka hukum gaji
yang diperolehnya itu HARAM.
Demikian penjelasan singkat seputar hokum suap-menyuap menurut
pandangan Islam yang dapat kami sampaikan pada edisi kali ini. Semoga menjadi
tambahan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar